Thursday, January 25, 2007

"TIME's Person of The Year 2006"

Akhir tahun 2006 lalu, majalah TIME merilis edisi akhir tahunnya yang bertajuk “Person of The Year”. Tema tersebut memang sudah rutin dipilih majalah yang berbasis di Amerika Serikat (AS) itu setiap penghujung tahun. Hal yang unik pada edisi kali ini adalah sosok yang terpilih sebagai person of the year.

Tidak 10, tidak 100, tidak pula 1.000 tokoh terkemuka. Person of the year 2006 versi TIME adalah: k a m u. Ya, kita semua. (lihat di sini)


Edisi akhir tahun TIME pada 2006 lalu itu selain unik dari segi pemilihan tema, juga menarik dari segi perwajahan. Terutama halaman sampulnya. Dengan adanya layar mengkilat berwarna perak sebagai visualisasi monitor komputer, setiap pembaca dapat bercermin dan melihat pantulan dirinya di sampul tersebut. Untuk edisi cetak, kata-kata “You” berada di bawah layar mengkilat. Sehingga, pembaca benar-benar dapat melihat utuh bayangan wajahnya di kotak persegi pada sampul depan majalah itu. Ya, kamu adalah orang terpilih tahun 2006 versi majalah TIME!


Evolusi dan revolusi peradaban
TIME mencatat bahwa hal terpenting yang terjadi di sepanjang tahun 2006 adalah memuncaknya evolusi—sekaligus revolusi—pemanfaatan teknologi informasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Internet sebagai sarana utamanya telah membuka peluang “orang biasa” untuk berkiprah dan mendapat pengakuan yang tak terkira hebatnya. Lokomotif peradaban di era masyarakat informasi tidak bergantung lagi pada tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi opinion leader selama ini. Kini, para motor perubahan itu bisa datang dari kalangan mana saja. Bisa jadi mereka adalah tetangga di samping rumah kita, teman sekolah anak kita, office boy di kantor kita, atau diri kita sendiri. Mereka “mengubah” dunia menjadi lebih baik dengan caranya masing-masing melalui kiprahnya di dunia maya (cyberspace).

TIME versi Asia menurunkan laporan tentang kisah berbagai orang di banyak belahan dunia yang punya andil khusus bagi peradaban masyarakat informasi lewat karyanya. Ada pasangan pemuda yang sukses dengan kreasi You-Tube (youtube.com) yang akhirnya bikin mereka jadi jutawan. Ada juga kisah perwira AS di Irak yang menulis weblog antiperangnya (wordsmithatwar.blog-city.com). Atau simak juga bagaimana seorang perempuan berusia 54 tahun yang telah meresensi 12.896 buku untuk situs Amazon.com (snipurl.com/151kj). Ada juga cerita dari Pakistan tentang remaja yang telah meng-up-load ratusan foto hasil karyanya di situs komunitas penggemar fotografi (flickr.com/photos/alikhurshid). Kisah orang-orang yang punya andil unik lainnya juga tersebar di dalam edisi tersebut.

Ya, sehari-hari mereka adalah orang biasa tak ubahnya kita-kita. Masing-masing memiliki kehidupan nyatanya sendiri dengan segala kompleksitas hidupnya. Namun, di depan layar monitor mereka telah berbuat sesuatu yang nilainya tidak hanya terukur dengan material belaka. Semua itu berlaku karena kita sekarang saling terhubung dalam sebuah jaring besar yang bernama internet, sehingga kita terkait satu dengan yang lainnya. Tidak heran jika kemudian pemikir Kanada, Marshall McLuhan, menyebut gejala ini telah menggiring dunia menjadi semacam global village.

Masyarakat informasi (?)
Tetapi, tunggu dulu. Apakah situasi itu berlaku juga untuk bangsa macam Indonesia? TIME memilih tema tersebut karena mereka nilai masyarakat informasi telah terbentuk dan menemukan puncaknya. Mengacu pada pemikiran futurolog Alvin Toffler, peradaban masyarakat memang bergerak pada tiga gelombang besar sehingga arahnya adalah masyarakat agraris, lalu bergerak menjadi masyarakat industri, dan terakhir membentuk masyarakat informasi yang berbasis pengetahuan. Asumsi inilah yang kiranya menjadi acuan manajemen redaksi TIME untuk memilih tema besar edisi akhir tahun tersebut.

Permasalahannya, perubahan peradaban masyarakat di penjuru bumi tidaklah linear dan serempak. Ketika warga dunia yang mengaku melek teknologi dan berperadaban maju sudah mengklaim dirinya sebagai masyarakat informasi, di mana posisi bangsa Indonesia? Uniknya, sebagian orang di negeri ini juga mengaku telah berada pada era yang sama. Padahal, kondisi nyata di lapangan menunjukkan sebenarnya bangsa Indonesia baru transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Transisi inipun belum paripurna. Amat mengherankan kalau kemudian ada orang yang berbangga diri menyebut bangsa di sisi Tenggara Asia ini sudah menjadi masyarakat informasi.

Perubahan tersebut tidak bisa dicapai secara instan. Ukuran perubahannya pun bukanlah sebatas pergeseran jenis mata pencaharian warga. Namun, yang lebih penting adalah soal cara pandang, cara pikir, dan cara hidup yang kian lanjut. Sekarang tinggal tanya pada diri sendiri: bagaimana cara pandang, cara pikir, dan keseluruhan cara hidup kita dalam menghadapi setiap persoalan hidup sehari-hari? Yakin sudah benar-benar jadi bagian dari masyarakat informasi?

Saya kok enggak yakin ya..

[mm]

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home