Tuesday, July 8, 2008

Domain melekmedia

Beberapa waktu lalu ada kawan dari UI yg menghubungi saya.
Menanyakan ttg domain blog ini yg memang sudah tidak saya aktifkan lagi.
Namun, sayangnya account email saya yg di lycos sering trouble.
Jadi, mohon bagi yg bersangkutan silakan kirim email lagi ke:

aku.zaki@gmail.com

Prinsipnya, saya bersedia dan siap membantu.
Tapi, tolong kirimi lagi saya email dan nomor kontak Anda.
Terima kasih.


[mm]

Tuesday, November 6, 2007

melekmedia.wordpress.com

Mulai 30 Oktober 2007 penghuni melekmedia.blogspot.com pindah rumah.
Jadi, langsung aja ketuk pintu rumah barunya di:

melekmedia.wordpress.com

Karpet beludru telah tergelar. Lebih tersedia yg segar-segar, enggak perlu bayar.
See you there, folks!


[mm]

Monday, January 29, 2007

“Di Que Si” dan Mimpi-mimpi a la Amerika

Bermula dari penjaga VCD rental yang sok tahu, akhirnya aku malah dapat berkah. Semua ini bermula saat aku minta dicarikan film-film Perancis. Setelah menyebut beberapa judul film Perancis yg sudah pernah kutonton, aku berharap penjaga itu akan menawariku yang lain. Dan dengan gaya mantap, ia pun menyebut sebuah judul film: Di Que Si. Aku sempat ragu, tapi berhubung aku juga tidak tahu bahasa Perancis, aku nurut-nurut saja. Dan rupanya keraguanku terbukti. Setelah kutonton di rumah, ternyata itu film Spanyol!

Sempat bersungut-sungut sambil menyumpahi penjaga VCD rental yang dapat nilai E untuk pelajaran Geografinya gara-gara tidak tahu bedanya Perancis dan Spanyol, akhirnya aku tenggelam juga menikmati film itu. Dari sekian banyak pemain di film itu, hanya ada satu pemeran yang seingatku pernah kulihat. Ya, si jelita Paz Vega (ingin tahu kejelitaannya, klik di sini).

Lambat-laun akhirnya kejengkelanku dengan si penjaga rental terlupakan. Dalam Di Que Si aku mendapatkan pengalaman tontonan baru. Film besutan sutradara Juan Calvo yang diproduksi tahun 2004 ini mengisahkan dua tokoh yang semula tidak saling kenal, Estrella (diperankan Paz Vega) dan Victor (Santi Millan). Estrella yang pemain teater itu memimpikan menjadi bintang film tenar di dunia hiburan, terutama televisi. Sementara, Victor, bujang lapuk yang amat membenci televisi itu sehari-hari bekerja sebagai portir di sebuah bioskop yang khusus memutar film-film klasik, terutama produksi Hollywood.

Keduanya bertemu dalam ketidaksengajaan yang serba mendadak dalam sebuah program tontonan kenyataan (reality show) di sebuah stasiun televisi. Program itu bernama Di Que Si atau berarti Say I Do. Isi program itu "mengadu" dua pasangan. Pasangan paling mesra dan paling klop dalam acara tersebut berhak mendapat liburan gratis. Usai liburan bersama itu mereka akan mendapat hadiah lebih besar lagi jika kemudian memutuskan menikah.

Tentu saja Estrella dan Victor terkejut karena sejak mula mereka tidak menghendaki berada di dalam acara itu, apalagi sampai menikah. Uniknya, dalam kekacauan itu mereka justru dinilai pemirsa sebagai pasangan yang klop. Poling sms pemirsa yang menentukan pemenang pun jatuh pada mereka.

American Dream”
Begitulah, sebuah impian yang coba diraih lewat mediasi industri tontonan terrepresentasi dalam Di Que Si. Meskipun amat dini untuk menyimpulkan bahwa ini juga representasi atas kondisi masyarakat Spanyol pada umumnya, tetapi paling tidak lewat Di Que Si kita dapat melihat bagaimana logika Amerika (baca: Hollywood) lebih dominan ketimbang cara pandang lain.

Estrella bermimpi menjadi artis tenar bermodalkan citra tubuh dan kemolekan pada umumnya seperti konstruksi media dan logika Amerika selama ini. Sementara, Victor yang dicitrakan sebagai laki-laki klasik, nerd, dan tradisional yang memilih cara hidupnya sendiri pun akhirnya harus tunduk pada dominasi logika besar lain, dalam hal ini disimbolkan oleh program reality show sebagai salah satu tentakel industri tontonan.

Satu hal yang menarik adalah fakta bahwa film ini meski diproduksi Columbia Pictures, tetapi dibuat di Eropa bukan di Amerika. Lewat hal ini kita masih melihat tarik-ulur dalam berbagai hal soal dominasi-mendominasi dalam hal logika pikir, cara hidup, hingga pertentangan budaya. Selain itu, mempertanyakan “realitas" atau "kenyataan” dalam sebuah tayangan reality show juga hadir sebagai salah satu bentuk interpretasi sang pembuat film atas kenyataan dalam tontonan itu sendiri. Artinya, cita rasa Spanyol masih tampak dalam samudera Amerikanisasi. Selain lewat penokohan yang khas merepresentasikan orang latin Spanyol (meski dalam konteks urban), cita rasa Spanyol itu juga muncul lewat cara penafsiran realitas yang sedikit berbeda dibanding cara pandang dominan. Sayangnya, produksi dan distribusi film ini tetap harus berpangku pada korporasi multinasional yang memang amat dominan, yakni Columbia Pictures dan Sony Pictures Releasing International.

Apapun, sebagai sebuah tontonan itu sendiri, Di Que Si tetap amat pantas untuk direkomendasikan sebagai tontonan yang segar nan menggelitik. Tentu, jika kamu belum alergi dengan yang namanya tertawa. ^_^

[mm]



Labels:

Friday, January 26, 2007

Musibah Awal Tahun

Gempita kembang api menyambut tahun baru tak selamanya diikuti gempita atas hal lainnya. Paling tidak itulah yang terekam di negeri kepulauan ini, Indonesia. Kesukacitaan awal tahun dalam tiga tahun terakhir tak berumur panjang. Kabar duka yang menggegerkan justru lebih mewarnai suasana membuka tahun yang baru—yang katanya juga penuh harapan baru—ini.

Masih hangat di ingatan kita bagaimana musibah demi musibah mewarnai awal tahun ini. Kapal Motor (KM) Senopati Nusantara yang membawa 571 penumpang dan 57 anak buah kapal tenggelam di perairan Pulau Mandalika, Jepara, Jawa Tengah pada Jumat (29/12/2006) pukul 23.00 setelah diempas ombak besar tak kurang dari enam meter. Kapal yang semestinya dijadwalkan berlabuh malam itu juga di pelabuhan Tanjung Mas, Semarang, ini akhirnya menyisakan duka bagi seluruh keluarga penumpang, baik yang berada di Kumai, Kalimantan Tengah, tempat keberangkatan kapal, maupun di seluruh negeri. Maklum, mayoritas penumpang berasal dari kelompok masyarakat berkemampuan ekonomi pas-pasan yang tersebar di seantero negeri.

Tak selang lama, sejumlah perahu motor dan kapal feri di perairan Sumatra juga “menyusul” terkena musibah di tengah lautan. Sayang, media massa tak banyak menyoroti musibah ini karena lebih disibukkan oleh berita lain yang—katanya—lebih sensaional. Media massa sempat tergiring serentak oleh musibah lain yang menyusul berikutnya. Ya, pesawat Adam Air dengan nomor penerbangan KI 574 hilang saat mengudara dari Surabaya menuju Manado tepat di hari pertama tahun 2007.

Sontak ramai-ramai media massa menurunkan laporan utama tentang hilangnya pesawat yang saat itu membawa 96 penumpang dan empat awak tersebut. Berita utama di halaman depan media cetak tak lepas dari perkembangan musibah itu dari hari ke hari. Begitu juga dengan radio, televisi, dan situs berita online. Lagi-lagi sayang, media massa justru lebih disibukkan pada aspek sensasi dalam menyajikan laporan-laporan tentang musibah tersebut. Saya telah mencoba melihat kecenderungan hal itu pada media massa atas tiga peristiwa musibah besar yang terjadi di awal tahun ini. Berikut tabelnya:

Negeri (sarat) bencana
Tiga tahun terakhir kita selalu membuka tahun dengan bertemu musibah. Coba kita gali lagi memori kita sama-sama. Akhir 2004 tepatnya 26 Desember, gempa bumi dan tsunami mengguncang dunia. Aceh dan Nias menjadi wilayah terparah yang terkena bencana dengan korban 173.981 jiwa melayang dan lebih dari 430 ribu warga harus mengungsi. Awal tahun 2005 pun kita isi dengan suasana duka berkepanjangan.

Lalu, awal 2006 tepat di malam pergantian tahun banjir bandang melanda Jember, Jawa Timur. Kota yang sejuk di sisi timur-selatan Pulau Jawa itu tiba-tiba terisolasi untuk beberapa waktu akibat banjir bandang yang menghanyutkan kehidupan di sana. Meskipun sepanjang tahun itu bencana demi bencana juga mengguncang negeri ini, termasuk gempa dahsyat di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Klaten, rupanya musibah belum usai meski penghujung tahun sudah di depan mata.

Di kala musim penghujan kian mencapai puncaknya, bencana berikutnya menghantam negeri ini. Sejumlah kapal laut terempas badai dan gelombang. Pesawat terbang hilang entah di mana saat mengudara. Di darat berkali-kali kereta api, sarana angkutan massal paling “merakyat” dan diklaim paling aman itu, pun anjlok dan terguling dari relnya. Belum lagi banjir musim penghujan yang sudah mulai meringsek ke permukiman warga di berbagai wilayah.

Peran media saat bencana
Di sinilah media massa mendapati tantangannya. Berbagai fenomena bencana yang berulang (baca: punya pola khas) tersebut semestinya disikapi juga dengan cara pandang yang lebih mendalam. Pemberitaan juga tidak cukup lagi sebatas menyampaikan peristiwa belaka (unsur what dan how). Namun, kini pemberitaan harus bergerak melongok lebih dalam unsur mengapa (why) dan lalu bagaimana (so what).

Media cetak sebagai media yang memiliki peluang untuk menurunkan laporan yang lebih komprehensif daripada media online maupun media penyiaran (radio dan televisi) semestinya lebih memainkan perannya dalam konteks pemberitaan bencana. Baik pada saat bencana terjadi, pascabencana, dan terutama lagi justru saat bencana belum terjadi. Artinya, media bukan berarti menjadi semacam “instrumen ramalan”, tetapi memainkan perannya untuk menjadi sarana pendidikan audiens agar ketika bencana datang bukan kepanikan yang melanda. Namun, persiapan yang matang sehingga korban dan kerugian bisa diminimalisasi. Syukur-syukur lagi bisa sampai melakukan langkah preventif bencana, terutama musibah-musibah yang bermula dari ulah manusia, seperti banjir bandang di Jember yang ditengarai akibat penebangan liar pada hutan-hutan di sekitar kota tersebut.

Selain itu, dalam pemberitaan terkait musibah, media massa juga semestinya mengedepankan konsep jurnalisme empati. Yakni, mampu memanusiakan manusia dengan jalan memahami segala rasa yang tengah dialami orang-orang yang terkena bencana. Cara melihat sesuatu akan memengaruhi cara bersikap. Begitu juga dalam pemberitaan tentang bencana. Melihat musibah sebagai penderitaan yang sungguh-sungguh menyesakkan, tapi sekaligus harus menjadi pemicu untuk bersemangat melanjutkan hidup, akan membantu pekerja media saat mengemas, mem-framing, dan menyajikan informasi di medianya dengan berbasis kebutuhan audiens.

Bisakah media kita melakukannya kini? Saya pikir bukti-bukti kekacauan paradigma pemberitaan saat bencana selama ini cukup sudah, tak perlu diperpanjang lagi daftarnya. Benar begitu, ‘kan?

[mm]

Labels:

Thursday, January 25, 2007

"TIME's Person of The Year 2006"

Akhir tahun 2006 lalu, majalah TIME merilis edisi akhir tahunnya yang bertajuk “Person of The Year”. Tema tersebut memang sudah rutin dipilih majalah yang berbasis di Amerika Serikat (AS) itu setiap penghujung tahun. Hal yang unik pada edisi kali ini adalah sosok yang terpilih sebagai person of the year.

Tidak 10, tidak 100, tidak pula 1.000 tokoh terkemuka. Person of the year 2006 versi TIME adalah: k a m u. Ya, kita semua. (lihat di sini)


Edisi akhir tahun TIME pada 2006 lalu itu selain unik dari segi pemilihan tema, juga menarik dari segi perwajahan. Terutama halaman sampulnya. Dengan adanya layar mengkilat berwarna perak sebagai visualisasi monitor komputer, setiap pembaca dapat bercermin dan melihat pantulan dirinya di sampul tersebut. Untuk edisi cetak, kata-kata “You” berada di bawah layar mengkilat. Sehingga, pembaca benar-benar dapat melihat utuh bayangan wajahnya di kotak persegi pada sampul depan majalah itu. Ya, kamu adalah orang terpilih tahun 2006 versi majalah TIME!


Evolusi dan revolusi peradaban
TIME mencatat bahwa hal terpenting yang terjadi di sepanjang tahun 2006 adalah memuncaknya evolusi—sekaligus revolusi—pemanfaatan teknologi informasi sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Internet sebagai sarana utamanya telah membuka peluang “orang biasa” untuk berkiprah dan mendapat pengakuan yang tak terkira hebatnya. Lokomotif peradaban di era masyarakat informasi tidak bergantung lagi pada tokoh-tokoh terkemuka yang menjadi opinion leader selama ini. Kini, para motor perubahan itu bisa datang dari kalangan mana saja. Bisa jadi mereka adalah tetangga di samping rumah kita, teman sekolah anak kita, office boy di kantor kita, atau diri kita sendiri. Mereka “mengubah” dunia menjadi lebih baik dengan caranya masing-masing melalui kiprahnya di dunia maya (cyberspace).

TIME versi Asia menurunkan laporan tentang kisah berbagai orang di banyak belahan dunia yang punya andil khusus bagi peradaban masyarakat informasi lewat karyanya. Ada pasangan pemuda yang sukses dengan kreasi You-Tube (youtube.com) yang akhirnya bikin mereka jadi jutawan. Ada juga kisah perwira AS di Irak yang menulis weblog antiperangnya (wordsmithatwar.blog-city.com). Atau simak juga bagaimana seorang perempuan berusia 54 tahun yang telah meresensi 12.896 buku untuk situs Amazon.com (snipurl.com/151kj). Ada juga cerita dari Pakistan tentang remaja yang telah meng-up-load ratusan foto hasil karyanya di situs komunitas penggemar fotografi (flickr.com/photos/alikhurshid). Kisah orang-orang yang punya andil unik lainnya juga tersebar di dalam edisi tersebut.

Ya, sehari-hari mereka adalah orang biasa tak ubahnya kita-kita. Masing-masing memiliki kehidupan nyatanya sendiri dengan segala kompleksitas hidupnya. Namun, di depan layar monitor mereka telah berbuat sesuatu yang nilainya tidak hanya terukur dengan material belaka. Semua itu berlaku karena kita sekarang saling terhubung dalam sebuah jaring besar yang bernama internet, sehingga kita terkait satu dengan yang lainnya. Tidak heran jika kemudian pemikir Kanada, Marshall McLuhan, menyebut gejala ini telah menggiring dunia menjadi semacam global village.

Masyarakat informasi (?)
Tetapi, tunggu dulu. Apakah situasi itu berlaku juga untuk bangsa macam Indonesia? TIME memilih tema tersebut karena mereka nilai masyarakat informasi telah terbentuk dan menemukan puncaknya. Mengacu pada pemikiran futurolog Alvin Toffler, peradaban masyarakat memang bergerak pada tiga gelombang besar sehingga arahnya adalah masyarakat agraris, lalu bergerak menjadi masyarakat industri, dan terakhir membentuk masyarakat informasi yang berbasis pengetahuan. Asumsi inilah yang kiranya menjadi acuan manajemen redaksi TIME untuk memilih tema besar edisi akhir tahun tersebut.

Permasalahannya, perubahan peradaban masyarakat di penjuru bumi tidaklah linear dan serempak. Ketika warga dunia yang mengaku melek teknologi dan berperadaban maju sudah mengklaim dirinya sebagai masyarakat informasi, di mana posisi bangsa Indonesia? Uniknya, sebagian orang di negeri ini juga mengaku telah berada pada era yang sama. Padahal, kondisi nyata di lapangan menunjukkan sebenarnya bangsa Indonesia baru transisi dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri. Transisi inipun belum paripurna. Amat mengherankan kalau kemudian ada orang yang berbangga diri menyebut bangsa di sisi Tenggara Asia ini sudah menjadi masyarakat informasi.

Perubahan tersebut tidak bisa dicapai secara instan. Ukuran perubahannya pun bukanlah sebatas pergeseran jenis mata pencaharian warga. Namun, yang lebih penting adalah soal cara pandang, cara pikir, dan cara hidup yang kian lanjut. Sekarang tinggal tanya pada diri sendiri: bagaimana cara pandang, cara pikir, dan keseluruhan cara hidup kita dalam menghadapi setiap persoalan hidup sehari-hari? Yakin sudah benar-benar jadi bagian dari masyarakat informasi?

Saya kok enggak yakin ya..

[mm]

Labels:

Thursday, January 18, 2007

Selamat Pagi, Mari Buka Mata dan Buka Hati


The new source of power is not money in the hand of a few,
but information in the hand of many.


Begitulah ungkapan terkenal dari Ziauddin Sardar, seorang jurnalis sekaligus ilmuwan kelahiran Pakistan 31 Oktober 55 tahun silam yang kemudian dibesarkan di London, Inggris. Setelah malang melintang dengan pergumulannya dalam berbagai wacana dan media, Sardar melihat bahwa kekuatan baru di era kini bukan lagi uang atau kapital yang banyak di tangan segelintir orang. Melainkan, informasi yang tersebar di pikiran ribuan bahkan jutaan warga dunia.

Kekuatan baru yang bernama “informasi” ini telah menjelma menjadi satu hal yang konkret sekaligus abstrak, bahkan absurd. Tidak seperti modal kapital yang nyata dan dapat terukur dengan eksak, informasi adalah hasil dari proses pergumulan kehidupan yang kompleks. Berkembang terus menerus, berubah dari hari ke hari, dan berseliweran di mana-mana. Siapa mampu “menguasai” informasi, dia akan menjadi pihak yang lebih unggul dari yang lainnya.

Kebutuhan akan media
Di sinilah kemudian media memainkan perannya. Namanya juga media, berarti sifatnya memediasi atau menjembatani. Penghubung antara berbagai pihak yang berkepentingan atas informasi yang menjadi muatan media. Mengapa harus ada penghubung yang bernama media? Ya, karena dimensi kehidupan makin rumit, manusianya makin bejibun, sementara kebutuhan untuk saling terikat satu sama lain tidak dapat terabaikan. Jarak geografis teratasi oleh adanya media, meskipun hal ini tidak berbanding lurus dengan teratasinya jarak sosial dan jarak emosi antarindividu yang terlibat dalam interaksi tersebut. Soalnya tak lain karena kepentingan utamanya lebih condong kepada penguasaan atas informasi berikut akumulasi modal kapital ketimbang pemberdayaan masyarakat sebagai kekuatan yang cerdas dan otonom dalam peradaban manusia.

Informasi dilihat sebagai komoditi, tak lebih. Akhirnya, kekuatan baru yang berbasis informasi itu hanya mengumpul secara oligarkis-monopolistis pada kelompok-kelompok tertentu. Entah itu kelompok penguasa politik maupun kelompok penguasa modal kapital, termasuk di dalamnya media massa arus utama (mainstream media). Tesis Sardar di atas pun harus diuji kembali. Apakah masih relevan dengan kondisi yang demikian?

Ternyata jawabnya: masih!
Pemicunya adalah berkembangnya internet sebagai medium baru yang memberikan “ancaman” sekaligus tantangan terhadap kehidupan media-media konvensional. Di era yang disebut-sebut membentuk generasi masyarakat informasi ini, internet menjadi tak terpisahkan lagi dalam kehidupan manusia. Berbagai instrumen dioptimalkan sedemikian rupa. Informasi menjadi kata kuncinya.

Peranan weblog
Weblog adalah salah satu instrumen lokomotif yang menjadi ruang gerak informasi yang sarat nuansa “pembebasan”. Di sinilah tesis Sardar tersebut mendapat tempatnya kembali. Kekuatan baru itu terletak pada mereka yang mampu “menguasai” informasi-informasi kunci. Tinggal bagaimana arah dari penguasaan informasi tersebut bergerak. Jika demokratisasi dalam ruang maya (cyberspace) yang selalu digembar-gemborkan ini menemukan bentuknya yang optimal, maka kekuatan itu tidak akan berpusat pada sekelompok orang saja, tetapi berpendar meluas di seluruh warga dunia. Informasi milik kita semua, informasi bisa kita konstruksikan bersama, sekaligus kita re-konstruksi bersama. Ada dialog terbuka di situ. Ada dialektika yang tak melulu bergerak dalam tradisi linear Hegelian macam tesis—antitesis—sintesis. Akan tetapi, dialektika kini bersifat sirkular, berputar-putar, difusif, tetapi tetap progresif dan konstruktif. Ya, begitulah.

Pandangan itu jugalah yang mendasari kelahiran weblog melek media ini. Gerakan media literacy atau masyarakat melek media memang tengah menjadi perhatian utama saya. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah khalayak atau audiens media adalah pihak yang aktif dan punya hak atas arah perkembangan media yang ada berikut isi/muatan informasinya. Institusi media tidak bisa mengabaikan satu komponen yang amat penting ini, yaitu audiens mereka. Media tidak bisa disebut hidup dalam kondisi yang “sehat” jika hanya mengindahkan kepentingan pemodal, negara (baca: pemerintah), dan pengelola media saja. Audiens bukanlah objek penderita, melainkan subjek aktif yang juga bukan sekadar punya andil manakala tengah diposisikan pengelola media sebagai narasumber. Audiens juga punya andil sehari-hari dalam sistem sosial tempat institusi media itu berada.

Paradigma itulah yang mendasari sikap bahwa kita sebagai audiens harus memahami bagaimana pola sifat dan pola kerja media. Sehingga, hal ini akan menggiring kita sebagai audiens agar dapat bersikap kritis terhadap media. Sementara itu, manakala kita sedang berposisi sebagai pengelola atau pekerja media, maka kita juga akan melihat audiens sebagai mitra dialog dalam kerja sehari-hari. Apa yang ada di pikiran audiens juga penting, apa yang menjadi keresahan dan harapan audiens juga punya makna yang tak bisa kita abaikan begitu saja.

Di sinilah weblog melek media ingin berperan. Menjadi ruang pembelajaran literasi media bagi kita semua, entah kita yang kini berposisi sebagai audiens maupun kita yang tengah bertugas sebagai pekerja media. Siapa saja bisa menulis di sini. Layangkan langsung tulisanmu via e-mail ke ini_zaki@lycos.com.

Inilah ruang kita, ruang pembelajaran bersama, ruang untuk sama-sama selalu melek media!
[mm]



Labels: